Seperti yang kita kenal sekarang, Jakarta sebagai ibukota Negara
kita, Indonesia. Kota metropolitan yang tidak pernah sepi dari berbagai macam
aktifitas, pariwisata, hiburan, ekonomi, perdagangan sampai politik. Ya, kota
sebagai pusat pemerintahan Negara ini, memang memiliki daya tarik tersendiri,
yang membuat banyak kalangan, dari berbagai latar suku, kebudayaan, dan daerah
berbondong-bondong datang dan ‘mengadu nasib’ disini. Sebenarnya, bagaimana
awal mula kota Jakarta terbentuk, siapa penemunya, apa yang melatar
belakanginya, mari kita simak sama-sama perjalanan kota Jakarta, dari masa-ke
masa;
Dimulai dari Abad ke-14 dengan nama sebutan Sunda Kelapa.
Daerah Sunda Kelapa dikenal sebagai pelabuhan Kerajaan Pajajaran kerajaan yang
menjadi pusat perdagangan, politik dan ekonomi bagi wilayah Hindia Belanda
(bagian barat).
Kemudian, pada tanggal 22 Juni 1527 Sunda Kelapa berganti
nama menjadi Jayakarta. Penggantian nama yang berarti Kota Kemenangan ini,
diberikan oleh Fatahilah sebagai penanda kemenangan pasukan pimpinannya,
mengusir penjajahan Portugis atas pendudukannya di wilayah kerajaan Padjajaran.
Kemudian, tanggal tersebut ditetapkan
sebagai hari jadi kota Jakarta sampai sekarang (keputusan DPR kota sementara
No. 6/D/K/1956)
Namun, pada 4 Maret 1621 setelah Belanda memasuki wilayah
Jayakarta, oleh Belanda untuk pertama kalinya Jayakarta yang merupakan kerajaan
diubah bentuk pemerintahannya menjadi
kota bernama Stad Batavia. Dan di 1 April 1905 berubah nama menjadi
Gemeente Batavia. Berlanjut, 8 Januari 1935 berubah nama menjadi Stad Gemeente
Batavia.
Setelah Jepang memasuki Batavia, pada 8 Agustus 1942 oleh
Jepang nama Batavia diubah menjadi Jakarta Toko Betsu Shi. Namun, setelah Jepang menyerah tanpa syarat pada
sekutu setelah kekalahannya di Perang Dunia ke II dan Indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya. Pada September 1945 di masa kemerdekaan Indonesia, pemerintah
kota Jakarta mengikrarkan nama baru untuk wilayah ini menjadi Pemerintah
Nasional Kota Jakarta.
20 Februari 1950 dalam masa Pemerintahan Pre Federal dibawah
pemerintahan NICA, Jakarta kembali berubah nama menjadi Stad Gemeente Batavia.
Baru genap satu bulan, pada 24 Maret 1950 nama kota diganti menjadi Kota Praj'a
Jakarta. Setelah kedudukan Jakarta dinyatakan sebagai daerah swatantra maka
pada 18 Januari 1958 dinamakan Kota Praja Djakarta Raya. Dan di tahun 1961
dibentuklah Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya (dengan PP No. 2
tahun 1961 jo UU No. 2 PNPS 1961).
Nama Daerah Khusus Ibukota Jakarta sendiri, seperti yang
kita sebut sekarang ini, resmi ditetapkan pada 31 Agustus 1964 berpedoman pada
UU No. 10 tahun 1964 dan tetap dinyatakan sebagai Ibukota Negara Republik
Indonesia dengan nama Jakarta (dikuatkan dengan undang-undang Nomor 29 tahun
2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai
Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia)
Kemudian, pada perkembangannya, setelah masa reformasi, pada
tahun1999, melalui UU no 34 tahun 1999 tentang Pemerintah Provinsi Daerah
Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta, sebutan pemerintah daerah
berubah menjadi Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, dan dengan
otoniminya tetap berada ditingkat provinsi dan bukan pada wilyah kota, yaitu
Provinsi DKI Jakarta. Selain itu,
wilayah DKI Jakarta dibagi menjadi 6 wilayah yaitu 5 wilayah kotamadya
dan satu wilayah kabupaten administrative, Kepulauan Seribu (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4700)
Menurut catatan sejarah, kata "Bandung" berasal
dari kata "bendung" atau "bendungan". Hal ini disebabkan karena terbendungnya
sungai Citarum oleh lava Gunung Tangkuban Perahu yang kemudian membentuk
telaga.
Namun, menurut mitos masyarakat setempat nama
"Bandung" diambil dari sebuah kendaraan air yang terdiri dari dua
perahu yang diikat berdampingan yang disebut perahu bandung yang digunakan oleh
Bupati Bandung. Kota Bandung merupakan kota metropolitan terbesar di Jawa Barat
dan sekaligus menjadi ibu kota provinsi tersebut. Selain itu, kota bandung juga
merupakan kota terbesar ketiga di indonesia setelah Jakarta dan Surabaya. Nama
lain dari kota Bandung adalah Kota Kembang, dan dahulu juga bandung dikenal
dengan Parijs Van Java.
Selain itu kota Bandung juga dikenal sebagai kota belanja,
dengan mall dan factory outlet yang banyak tersebar di kota ini. Dan pada tahun
2007, British Council menjadikan kota Bandung sebagai pilot project kota
terkreatif se-Asia Timur. Saat ini kota Bandung merupakan salah satu kota
tujuan utama pariwisata dan pendidikan. Berikut ini duniabaca.com kutip dari
Wikipedia mengenai asal-usul sejarah kota bandung.
Sejarah Kota Bandung.
Kata “Bandung” berasal dari kata bendung atau bendungan
karena terbendungnya sungai Citarum oleh lava Gunung Tangkuban Perahu yang lalu
membentuk telaga. Legenda yang diceritakan oleh orang-orang tua di Bandung
mengatakan bahwa nama “Bandung” diambil dari sebuah kendaraan air yang terdiri
dari dua perahu yang diikat berdampingan yang disebut perahu bandung yang
digunakan oleh Bupati Bandung, R.A. Wiranatakusumah II, untuk melayari Ci Tarum
dalam mencari tempat kedudukan kabupaten yang baru untuk menggantikan ibukota
yang lama di Dayeuhkolot.
Kota Bandung mulai dijadikan sebagai kawasan pemukiman sejak
pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, melalui Gubernur Jenderalnya waktu itu
Herman Willem Daendels, mengeluarkan surat keputusan tanggal 25 September 1810
tentang pembangunan sarana dan prasarana untuk kawasan ini. Dikemudian hari
peristiwa ini diabadikan sebagai hari jadi kota Bandung.
Kota Bandung secara resmi mendapat status gemeente (kota)
dari Gubernur Jenderal J.B. van Heutsz pada tanggal 1 April 1906 dengan luas
wilayah waktu itu sekitar 900 ha, dan bertambah menjadi 8.000 ha di tahun 1949,
sampai terakhir bertambah menjadi luas wilayah saat ini.
Pada masa perang kemerdekaan, pada 24 Maret 1946, sebagian
kota ini di bakar oleh para pejuang kemerdekaan sebagai bagian dalam strategi
perang waktu itu. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan Bandung Lautan Api dan
diabadikan dalam lagu Halo-Halo Bandung. Selain itu kota ini kemudian
ditinggalkan oleh sebagian penduduknya yang mengungsi ke daerah lain.
Pada tanggal 18 April 1955 di Gedung Merdeka yang dahulu
bernama “Concordia” (Jl. Asia Afrika, sekarang), berseberangan dengan Hotel
Savoy Homann, diadakan untuk pertama kalinya Konferensi Asia-Afrika yang
kemudian kembali KTT Asia-Afrika 2005 diadakan di kota ini pada 19 April-24
April 2005.
Sumber: http://antarinformasi.blogspot.com
3. Bekasi
Dalam catatan sejarah sebagaimana yang kami peroleh dari
website resmi kabupaten bekasi, nama "Bekasi" memiliki arti dan nilai
sejarah yang khas.
Menurut Poerbatjaraka -, seorang ahli bahasa Sansekerta dan
Jawa Kuno - Asal mula kata Bekasi, secara filosofis, berasal dari kata
Chandrabhaga. Chandra berarti "bulan" (dalam bahasa Jawa Kuno, sama
dengan kata Sasi) dan Bhaga berarti "bagian". Jadi, secara etimologis
kata Chandrabhaga berarti bagian dari bulan.
Kata Chandrabhaga berubah menjadi Bhagasasi yang
pengucapannya sering disingkat menjadi Bhagasi. Kata Bhagasi ini dalam
pelafalan bahasa Belanda seringkali ditulis "Bacassie" kemudian
berubah menjadi Bekasi hingga kini.
Bekasi dikenal sebagai "Bumi Patriot", yakni
sebuah daerah yang dijaga oleh para pembela tanah air. Mereka berjuang disini
sampai titik darah penghabisan untuk mempertahankan negeri tercinta dan merebut
kemerdekaan dari tangan penjajah.
Ballada kepahlawanan tersebut tertulis dengan jelas dalam
setiap bait guratan puisi heroik Pujangga Besar Chairil Anwar yang berjudul
"Krawang - Bekasi".
Kini, Kabupaten Bekasi di usianya yang ke-57 tahun, banyak
perubahan yang telah terjadi dari masa ke masa.
Menelusuri jejak sejarah Kabupaten Bekasi, terungkap dalam
rangkaian periodisasi kesejarahan sebagai berikut:
- Masa Kerajaan.
- Masa Penjajahan Belanda.
- Masa Pendudukan Jepang
- Masa Persiapan Kemerdekaan
- Masa Terbentuknya Kabupaten Bekasi
- Masa Pemberontakan PKI
- Masa Pembangunan
Itulah asal muasal nama "Bekasi" yang sekarang
sudah Anda ketahui. sedangkan sejarah dari kota bekasi sendiri adalah sebagai
berikut.
Dayeuh Sundasembawa atau Jayagiri, itulah sebutan Bekasi
tempo dulu sebagai Ibukota Kerajaan Tarumanagara (358-669). Luas Kerajaan ini
mencakup wilayah Bekasi, Sunda KElapa, Depok, Cibinong, Bogor hingga ke wilayah
Sungai Cimanuk di Indramayu. Menurut para ahli sejarah dan fisiologi, leatak
Dayeuh Sundasembawa atau Jayagiri sebagai Ibukota Tarumanagara adalah di
wilayah Bekasi sekarang.Dayeuh Sundasembawa inilah daerah asal Maharaja
Tarusbawa (669-723 M) pendiri Kerajaan Sunda dan seterusnya menurunkan Raja-Raja
Sunda sampai generasi ke-40 yaitu Ratu Ragumulya (1567-1579 M) Raja Kerajaan
Sunda (disebut pula Kerajaan Pajajaran) yang terakhir.
Wilayah Bekasi tercatat sebagai daerah yang banyak memberi
infirmasi tentang keberadaan Tatar Sunda pada masa lampau. Diantaranya dengan
ditemukannya empat prasasti yang dikenal dengan nama Prasasti Kebantenan.
Keempat prasasti ini merupakan keputusan (piteket) dari Sri Baduga Maharaja
(Prabu Siliwangi, Jayadewa 1482-1521 M) yang ditulis dalam lima lembar lempeng
tembaga. Sejak abad ke 5 Masehi pada masa Kerajaan Tarumanagara abad kea 8
Kerajaan Galuh, dan Kerajaan Pajajaran pada abad ke 14, Bekasi menjadi wilayah
kekuasaan karena merupakan salah satu daerah strategis, yakni sebagai
penghubung antara pelabuhan Sunda Kelapa (Jakarta).
- Sejarah Sebelum Tahun 1949
Kota Bekasi ternyata mempunyai sejarah yang sangat panjang
dan penuh dinamika. Ini dapat dibuktikan perkembangannya dari jaman ke jaman,
sejak jaman Hindia Belanda, pundudukan militer Jepang, perang kemerdekaan dan
jaman Republik Indonesia. Di jaman Hindia Belanda, Bekasi masih merupakan
Kewedanaan (District), termasuk Regenschap (Kabupaten) Meester Cornelis. Saat
itu kehidupan masyarakatnya masih di kuasai oleh para tuan tanah keturunan
Cina.
Kondisi ini terus berlanjut sampai pendudukan militer
Jepang. Pendudukan militer Jepang turut merubah kondisi masyarakat saat itu.
Jepang melaksanakan Japanisasi di semua sektor kehidupan. Nama Batavia diganti
dengan nama Jakarta. Regenschap Meester Cornelis menjadi KEN Jatinegara yang
wilayahnya meliputi Gun Cikarang, Gun Kebayoran dan Gun Matraman.Setelah
proklamasi kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945, struktur pemerintahan
kembali berubah, nama Ken menjadi Kabupaten, Gun menjadi Kewedanaan, Son
menjadi Kecamatan dan Kun menjadi Desa/Kelurahan. Saat itu Ibu Kota Kabupaten
Jatinegara selalu berubah-ubah, mula-mula di Tambun, lalu ke Cikarang, kemudian
ke Bojong (Kedung Gede).
Pada waktu itu Bupati Kabupaten Jatinegara adalah Bapak
Rubaya Suryanaatamirharja.Tidak lama setelah pendudukan Belanda, Kabupaten
Jatinegara dihapus, kedudukannya dikembalikan seperti zaman Regenschap Meester
Cornelis menjadi Kewedanaan. Kewedanaan Bekasi masuk kedalam wilayah Batavia En
Omelanden. Batas Bulak Kapal ke Timur termasuk wilayah negara Pasundan di bawah
Kabupaten Kerawang, sedangkan sebelah Barat Bulak Kapal termasuk wilayah negara
Federal sesuai Staatsblad Van Nederlandsch Indie 1948 No. 178 Negara Pasundan.
- Sejarah Tahun 1949 sampai Terbentuknya Kota Bekasi
Sejarah setelah tahun 1949, ditandai dengan aksi unjuk rasa
sekitar 40.000 rakyat Bekasi pada tanggal 17 Februari 1950 di alum-alun Bekasi.
Hadir pada acara tersebut Bapak Mu’min sebagai Residen Militer Daerah V. Inti
dari unjuk rasa tersebut adalah penyampaian pernyataan sikap sebagai berikut :
Rakyat bekasi mengajukan usul kepada Pemerintah Pusat agar
kabupaten Jatinegara diubah menjadi
Kabupaten Bekasi. Rakyat Bekasi tetap berdiri di belakang Pemerintah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Dan berdasarkan UU Nomor 14 Tahun 1950 terbentuklah
Kabupaten Bekasi, dengan wilayah terdiri dari 4 kewedanaan, 13 kecamatan
(termasuk Kecamatan Cibarusah) dan 95 desa. Angka-angka tersebut secara
simbolis diungkapkan dalam lambang Kabupaten Bekasi dengan motto
"SWATANTRA WIBAWA MUKTI".
Pada tahun 1960 kantor Kabupaten Bekasi berpindah dari
Jatinegara ke kota Bekasi (jl. H Juanda). Kemudian pada tahun 1982, saat Bupati
dijabat oleh Bapak H. Abdul Fatah Gedung Perkantoran Pemda Kabupaten Bekasi
kembali dipindahkan ke Jl. A. Yani No.1 Bekasi. Pasalnya perkembangan Kecamatan
Bekasi menuntut dimekarkannya Kecamatan Bekasi menjadi Kota Administratif
Bekasi yang terdiri atas 4 kecamatan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 48
Tahun 1981, yaitu Kecamatan Bekasi Timur, bekasi Selatan, Bekasi Barat dan Bekasi
Utara, yang seluruhnya menjadi 18 kelurahan dan 8 desa.
Peresmian Kota Administratif Bekasi dilakukan oleh Menteri
Dalam Negeri pada tanggal 20 April 1982, dengan walikota pertama dijabat oleh
Bapak H. Soedjono (1982 – 1988). Tahun 1988 Walikota Bekasi dijabat oleh Bapak
Drs. Andi Sukardi hingga tahun 1991 (1988 - 1991, kemudian diganti oleh Bapak
Drs. H. Khailani AR hingga tahun (1991 – 1997)
Pada Perkembangannya Kota Administratif Bekasi terus
bergerak dengan cepat. Hal ini ditandai dengan pertumbuhan penduduk yang cukup
tinggi dan roda perekonomian yang semakin bergairah. Sehingga status Kotif.
Bekasi pun kembali di tingkatkan menjadi Kotamadya (sekarang "Kota")
melalui Undang-undang Nomor 9 Tahun 1996 Menjabat Walikotamadya Kepala Daerah
Tingkat II Bekasi saat itu adalah Bapak Drs. H. Khailani AR, selama satu tahun
(1997-1998).
Selanjutnya berdasarkan hasil pemilihan terhitung mulai
tanggal 23 Pebruari 1998 Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Bekasi
definitif dijabat oleh Bapak Drs. H Nonon Sonthanie (1998-2003). Setelah
pemilihan umum berlangsung terpilihlah Walikota dan Wakil Walikota Bekasi yaitu
: Akhmad Zurfaih dan Moechtar Muhammad (perode 2003 - 2008).
Sumber: http://www.bekasikota.go.id
http://bekasikabhome.blogspot.com
4. Surabaya
Asal usul nama kota Surabaya hingga kini masih menjadi
perdebatan dikalangan para sejarahwan. Ada yang menyebutkan bahwa nama Surabaya
berasal dari legenda ikan sura (hiu) dan buaya, ada pula yang menyebut bahwa
nama surabaya berasal dari gabungan kata sura yang berarti selamat dan baya
yang berarti bahaya (Surabaya = selamat dari bahaya). Terlepas dari itu semua,
kali ini kisah asal usul akan membahas tentang cerita rakyat yang sangat
populer tentang asal usul kota Surabaya. Berikut ini kisahnya:
Dahulu kala, di lautan nan luas (tepatnya di Laut Jawa),
hiduplah 2 hewan buas yang sama-sama angkuh dan tak mau kalah. Kedua hewan
tersebut adalah ikan hiu sura dan seekor buaya. Karena tinggal berdampingan,
dua hewan tersebut sering berselisih dan berkelahi ketika memperebutkan
makanan. Karena sama-sama kuat, tangkas, ganas, dan sama-sama cerdik,
perkelahianpun terus berlangsung karena tidak ada yang bisa menang dan tidak
ada yang bisa kalah. Pada akhirnya, kedua hewan tersebut merasa bosan dan lelah
jika harus terus berkelahi. Menyadari hal itu keduanya kemudian sepakat
mengadakan perjanjian tentang pembagian area kekuasaan.
"Hai Buaya, lama-lama aku bosan berkelahi
denganmu." kata ikan hiu Sura. "Hmm, Aku juga, Sura. Lalu, apa yang
mesti kita lakukan supaya perkelahian kita ini bisa berhenti?" tanya
Buaya.
"Untuk mencegah terjadinya perkelahian lagi di antara
kita, alangkah baiknya jika kita membagi daerah ini menjadi 2 daerah kekuasaan.
Aku berkuasa di dalam air dan hanya bisa mencari mangsa di dalam air, sedang
engkau barkuasa di daratan dan dengan begitu mangsamu harus pula yang ada di
daratan. Lalu, sebagai batasnya, kita tentukan lebih dulu yaitu tanah yang
dapat dicapai air laut pada saat pasang surut!"
"Oke, aku setujui dengan gagasanmu itu, Sura!"
kata Buaya sambil mengangguk.
Dengan adanya perjanjian tersebut, untuk beberapa saat ikan
hiu Sura dan buaya tak pernah berkelahi lagi. Keduanya sepakat untuk saling
menghormati wilayah kekuasaannya masing-masing. Namun, setelah waktu berselang
begitu lama, ikan-ikan yang menjadi mangsa hiu sura mulai habis dilautan.
Sebagian ikan yang tersisa justru bermigrasi ke arah muara sungai Brantas
karena takut dimangsa si hiu Sura. Menyadari hal itu, ikan hiu sura terpaksa
dengan sembunyi-sembunyi mulai mencari mangsanya di muara sungai agar tidak
ketahuan oleh buaya. Namun tanpa disadari si buaya ternyata mengetahui tingkah
si hiu sura dan langsung menyerangnya.
" Sura, kenapa kau melanggar perjanjian yang sudah kita
berdua sepakati? Kenapa kamu berani-beraninya memasuki wilayah sungai yang
adalah daerah kekuasaanku?" tanya si Buaya.
"Eits... Aku melanggar perjanjian? Ingatkah engkau akan
bunyi perjanjian kita? Bukankah sungai ini berair? Dan karena ada airnya, jadi
sungai ini juga termasuk daerah kekuasaanku, bukan?" Kata Sura mengelak.
"Apa maksudmu Sura? Bukankah sungai itu berada di
darat, sedang daerah kekuasaanmu ada di laut, berarti sungai itu termasuk
daerah kekuasaanku!" jawab Buaya ngotot.
"Ohh... Tidak bisa. Bukankah aku tidak pernah sekalipun
mengatakan kalau air itu hanya air laut? Bukankah pula air sungai itu ait"
jawab Hiu Sura.
"Hmm... Rupanya sengaja kau mencari gara-gara denganku,
Sura?" hentak Buaya.
"Tidak!! Ku kira alasanku sudah cukup kuat dan aku ada
dipihak yang benar!" elak Sura.
"Kau memang benar-benar sengaja mengakaliku Sura. Aku
tidaklah sebodoh yang engkau kira!" jawab Buaya mulai marah.
"Aku tak peduli kau pintar atau bodoh, yang jelas
sungai dan laut merupakan daerah kekuasaanku!" serang Sura tak mau
mengalah.
Adu mulut antara Sura dan Baya pun berakhir dengan
perkelahian yang sengit. Perkelahian kali ini menjadi sangat seru dan dahsyat
karena keduanya merasa sama-sama tidak salah. Mereka saling menggigit,
menerjang, memukul, dan menerkam. Dan dalam waktu sekejap, air sungai
disekitarnya tempat perkelahian itu menjadi merah karena darah yang keluar dari
luka kedua binatang itu. Mereka bertarung dengan mati-matian. Buaya mendapat
gigitan Sura di ujung ekor sebelah kanan, sehingga ekor tersebut selalu
membengkok ke kiri. Sedangkan Sura tergigit ekornya hingga nyaris putus. Karena
sama-sama sudah terluka parah, keduanya kemudian berhenti berkelahi. Ikan
surapun mengalah dan akhirnya kembali ke laut. Buaya yang menahan sakitnya pun
merasa puas karena telah mampu mempertahankan daerah kekuasaannya.
Tak berselang lama diketahui bahwa kedua hewan tersebut
ternyata mati karena luka yang cukup parah dari bekas perkelahian. Dan untuk
mengenangnya, penduduk sekitar menyatakan
untuk memberi nama Surabaya pada daerah disekitar tempat perkelahian
antara ikan Sura dan Buaya tersebut.
Sumber : http://kisahasalusul.blogspot.com
5. Makasar
Kota Makassar merupakan salah satu kota metropolitan yang
berada di provinsi Sulawesi Selatan. Nama Makassar yang disematkan pada kota
ini bukan hanya sekedar nama, sejarah yang panjang di masa lampau membuat nama
"Makassar" ini sakral untuk digunakan kepada kota dengan julukan kota
Anging Mammiri ini. Maka dari itu sekarang saya mengajak anda untuk menjelajah
sejarah asal usul nama Makassar pada kota Makassar.
Tiga hari berturut-turut Baginda Raja Tallo ke-VI Mangkubumi
Kerajaan Gowa, I Mallingkaang Daeng Mannyonri KaraEng Katangka yang merangkap
Tuma'bicara Butta ri Gowa (lahir tahun 1573), bermimpi melihat cahaya bersinar
yang muncul dari Tallo. Cahaya kemilau nan indah itu memancar keseluruh Butta
Gowa lalu ke negeri sahabat lainnya.
Bersamaan di malam ketiga itu, yakni malam Jum'at tanggal 9
Jumadil Awal 1014 H atau tanggal 22 September 1605 M. (Darwa rasyid MS.,
Peristiwa Tahun-tahun Bersejarah Sulawesi Selatan dari Abad ke XIV s/d XIX,
hal.36), di bibir pantai Tallo merapat sebuah perahu kecil. Layarnya terbuat
dari sorban, berkibar kencang. Nampak sesosok lelaki menambatkan perahunya lalu
melakukan gerakan-gerakan aneh. Lelaki itu ternyata melakukan sholat.
Cahaya yang terpancar dari tubuh Ielaki itu menjadikan
pemandangan yang menggemparkan penduduk Tallo, yang sontak ramai membicarakannya
hingga sampai ke telinga Baginda KaraEng Katangka. Di pagi buta itu, Baginda
bergegas ke pantai. Tapi tiba-tiba lelaki itu sudah muncul ‘menghadang’ di
gerbang istana. Berjubah putih dengan sorban berwarna hijau. Wajahnya teduh.
Seluruh tubuhnya memancarkan cahaya.
Lelaki itu menjabat tangan Baginda Raja yang tengah kaku
lantaran takjub. Digenggamnya tangan itu lalu menulis kalimat di telapak tangan
Baginda "Perlihatkan tulisan ini pada lelaki yang sebentar lagi datang
merapat di pantai,” perintah lelaki itu lalu menghilang begitu saja. Baginda
terperanjat. la meraba-raba matanya untuk memastikan ia tidak sedang bermimpi.
Dilihatnya telapak tangannya tulisan itu ternyata jelas adanya. Baginda KaraEng
Katangka lalu bergegas ke pantai. Betul saja, seorang lelaki tampak tengah
menambat perahu, dan menyambut kedatangan beliau.
Singkat cerita, Baginda menceritakan pengalamannya tadi dan
menunjukkan tulisan di telapak tangannya pada lelaki itu. “Berbahagialah
Baginda. Tulisan ini adalah dua kalimat syahadat,” kata lelaki itu. Adapun
lelaki yang menuliskannya adalah Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wassallam
sendiri. Baginda Nabi telah menampakkan diri di Negeri Baginda.
Peristiwa ini dipercaya sebagai jejak sejarah asal-usul nama
"Makassar", yakni diambil dari nama "Akkasaraki Nabbiya",
artinya Nabi menampakkan diri. Adapun lelaki yang mendarat di pantai Tallo itu
adalah Abdul Ma'mur Khatib Tunggal yang dikenal sebagai Dato' ri Bandang,
berasal dari Kota Tengah (Minangkabau, Sumatera Barat).
Baginda Raja Tallo I Mallingkaang Daeng Manyonri KaraEng
Katangka setelah memeluk Agama Islam kemudian bergelar Sultan Abdullah
Awaluddin Awawul Islam Karaeng Tallo Tumenanga ri Agamana. Beliau adalah Raja
pertama yang memeluk agama Islam di dataran Sulawesi Selatan.
Lebih jauh, penyusuran asal nama "Makassar" dapat
ditinjau dari beberapa segi, yaitu:
- Makna. Untuk menjadi manusia sempurna perlu
"Ampakasaraki", yaitu menjelmakan (menjasmanikan) apa yang terkandung
dalam bathin itu diwujudkan dengan perbuatan. "Mangkasarak"
mewujudkan dirinya sebagai manusia sempurna dengan ajaran TAO atau TAU (ilmu
keyakinan bathin). Bukan seperti yang dipahami sebagian orang bahwa
"Mangkasarak" orang kasar yang mudah tersinggung. Sebenarnya orang
yang mudah tersinggung itu adalah orang yang halus perasaannya.
- Sejarah. Sumber-sumber Portugis pada permulaan abad ke-16
telah mencatat nama "Makassar". Abad ke-16 "Makassar” sudah
menjadi ibu kota Kerajaan Gowa. Dan pada Abad itu pula, Makassar sebagai ibu
kota sudah dikenal oleh bangsa asing. Bahkan dalam syair ke-14 Nagarakertagama
karangan Prapanca (1365) nama Makassar telah tercantum.
- Bahasa. Dari segi Etimologi (Daeng Ngewa, 1972:1-2),
Makassar berasal dati kata "Mangkasarak" yang terdiri atas dua morfem
ikat "mang" dan morfem bebas "kasarak". Morfem ikat
"mang" mengandung arti: a). Memiliki sifat seperti yang terkandung
dalam kata dasarnya. b). Menjadi atau menjelmakan diri seperti yang dinyatakan
oleh kata dasarnya. Morfem bebas "kasarak" mengandung (arti: a).
Terang, nyata, jelas, tegas. b). Nampak dari penjelasan. c). Besar (lawan kecil
atau halus).
Jadi, kata "Mangkasarak" Mengandung arti memiliki
sifat besar (mulia) dan berterus terang (Jujur). Sebagai nama, orang yang
memiliki sifat atau karakter "Mangkasarak" berarti orang tersebut
besar (mulia), berterus terang (Jujur). Sebagaimana di bibir begitu pula di
hati.
John A.F. Schut dalam buku "De Volken van Nederlandsch
lndie" jilid I yang beracara : De Makassaren en Boegineezen, menyatakan:
"Angkuh bagaikan gunung-gunungnya, megah bagaikan alamnya, yang
sungaisungainya di daerah-daerah nan tinggi mengalir cepat, garang tak tertundukkan,
terutama pada musim hujan; air-air terjun tertumpah mendidih, membusa,
bergelora, kerap menyala hingga amarah yang tak memandang apa-apa dan
siapa-siapa. Tetapi sebagaimana juga sungai, gunung nan garang berakhir tenang
semakin ia mendekati pantai. Demikian pulalah orang Bugis dan Makassar, dalam
ketenangan dapat menerima apa yang baik dan indah".
Dalam ungkapan "Akkana Mangkasarak", maksudnya
berkata terus terang, meski pahit, dengan penuh keberanian dan rasa tanggung
jawab. Dengan kata "Mangkasarak" ini dapatlah dikenal bahwa kalau dia
diperlakukan baik, ia lebih baik. Kalau diperlakukan dengan halus, dia lebih
halus, dan kalau dia dihormati, maka dia akan lebih hormat.
Sumber: http://www.gudangmateri.com
6. Palembang
Kota Palembang merupakan kota tertua di Indonesia berumur
setidaknya 1382 tahun jika berdasarkan prasasti Sriwijaya yang dikenal sebagai
prasasti Kedudukan Bukit. Menurut Prasasti yang berangka tahun 16 Juni 682.
Pada saat itu oleh penguasa Sriwijaya didirikan Wanua di daerah yang sekarang
dikenal sebagai kota Palembang. Menurut topografinya, kota ini dikelilingi oleh
air, bahkan terendam oleh air. Air tersebut bersumber baik dari sungai maupun
rawa, juga air hujan. Bahkan saat ini kota Palembang masih terdapat 52,24 %
tanah yang yang tergenang oleh air (data Statistik 1990). Berkemungkinan karena
kondisi inilah maka nenek moyang orang-orang kota ini menamakan kota ini
sebagai Pa-lembang dalam bahasa melayu Pa atau Pe sebagai kata tunjuk suatu
tempat atau keadaan; sedangkan lembang atau lembeng artinya tanah yang rendah,
lembah akar yang membengkak karena lama terendam air (menurut kamus melayu),
sedangkan menurut bahasa melayu-Palembang, lembang atau lembeng adalah genangan
air. Jadi Palembang adalah suatu tempat yang digenangi oleh air.
Kondisi alam ini bagi nenek moyang orang-orang Palembang
menjadi modal mereka untuk memanfaatkannya. Air menjadi sarana transportasi
yang sangat vital, ekonomis, efisien dan punya daya jangkau dan punya kecepatan
yang tinggi. Selain kondisi alam, juga letak strategis kota ini yang berada
dalam satu jaringan yang mampu mengendalikan lalu lintas antara tiga kesatuan
wilayah:
- Tanah tinggi Sumatera bagian Barat, yaitu : Pegunungan Bukit
Barisan.
- Daerah kaki bukit atau piedmont dan pertemuan anak-anak
sungai sewaktu memasuki dataran rendah.
- Daerah pesisir timur laut.
Ketiga kesatuan wilayah ini merupakan faktor setempat yang
sangat mementukan dalam pembentukan pola kebudayaan yang bersifat peradaban.
Faktor setempat yang berupa jaringan dan komoditi dengan frekuensi tinggi sudah
terbentuk lebih dulu dan berhasil mendorong manusia setempat menciptakan
pertumbuhan pola kebudayaan tinggi di Sumatera Selatan. Faktor setempat inilah
yang membuat Palembang menjadi ibukota Sriwijaya, yang merupakan kekuatan
politik dan ekonomi di zaman klasik pada wilayah Asia Tenggara. Kejayaan
Sriwijaya diambil oleh Kesultanan Palembang Darusallam pada zaman madya sebagai
kesultanan yang disegani dikawasan Nusantara
Seperti juga bentuk-bentuk
pemerintahan di Asia Tenggara lainnya pada kurun waktu itu, bentuknya dikenal
sebagai Port-polity. Pengertian Port-polity secara sederhana bermula sebagai
sebuah pusat redistribusi, yang secara perlahan-lahan mengambil alih sejumlah
bentuk peningkatan kemajuan yang terkandung di dalam spektrum luas. Pusat
pertumbuhan dari sebuah Polity adalah entreport yang menghasilkan tambahan bagi
kekayaan dan kontak-kontak kebudayaan. Hasil-hasil ini diperoleh oleh para
pemimpin setempat. (dalam istilah Sriwijaya sebutannya adalah datu), dengan
hasil ini merupakan basis untuk penggunaan kekuatan ekonomi dan penguasaan
politik di Asia Tenggara.
Ada tulisan menarik dari kronik Cina Chu-Fan-Chi yang
ditulis oleh Chau Ju-Kua pada abad ke 14, menceritakan tentang Sriwijaya
sebagai berikut :Negara ini terletak di Laut selatan, menguasai lalu lintas
perdagangan asing di Selat. Pada zaman dahulu pelabuhannya menggunakan rantai
besi untuk menahan bajak-bajak laut yang bermaksud jahat. Jika ada
perahu-perahu asing datang, rantai itu diturunkan. Setelah keadaan aman
kembali, rantai itu disingkirkan. Perahu-perahu yang lewat tanpa singgah
dipelabuhan dikepung oleh perahu-perahu milik kerajaan dan diserang. Semua
awak-awak perahu tersebut berani mati. Itulah sebabnya maka negara itu menjadi
pusat pelayaran.
Tentunya banyak lagi cerita, legenda bahkan mitos tentang
Sriwijaya. Pelaut-pelaut Cina asing seperti Cina, Arab dan Parsi, mencatat
seluruh perisitiwa kapanpun kisah-kisah yang mereka lihat dan dengan. Jika pelaut-pelaut
Arab dan Parsi, menggambarkan keadaan sungai Musi, dimana Palembang terletak,
adalah bagaikan kota di Tiggris. Kota Palembang digambarkan mereka adalah kota
yang sangat besar, dimana jika dimasuki kota tersebut, kokok ayam jantan tidak
berhenti bersahut-sahutan (dalam arti kokok sang ayam mengikuti terbitnya
matahari). Kisah-kisah perjalanan mereka penuh dengan keajaiban 1001 malam.
Pelaut-pelaut Cina mencatat lebih realistis tentang kota Palembang, dimana
mereka melihat bagaimana kehiduapan penduduk kota yang hidup diatas rakit-rakit
tanpa dipungut pajak. Sedangkan bagi pemimpin hidup berumah ditanah kering
diatas rumah yang bertiang. Mereka mengeja nama Palembang sesuai dengan lidah
dan aksara mereka. Palembang disebut atau diucapkan mereka sebagai Po-lin-fong
atau Ku-kang (berarti pelabuhan lama).Setelah mengalami kejayaan diabad-abad
ke-7 dan 9, maka dikurun abad ke-12 Sriwijaya mengalami keruntuhan secara
perlahan-lahan. Keruntuhan Sriwijaya ini, baik karena persaingan dengan
kerajaan di Jawa, pertempuran dengan kerajaan Cola dari India dan terakhir
kejatuhan ini tak terelakkan setelah bangkitnya bangkitnya kerajaan-kerajaan
Islam di Nusantara. Kerajaan-kerajaan Islam yang tadinya merupakan
bagian-bagian kecil dari kerajaan Sriwijaya, berkembang menjadi kerajaan besar
seperti yang ada di Aceh dan Semenanjung Malaysia.
Sumber: http://palembang.go.id
Cukup sekian tulisan dari saya, kurang lebihnya mohon maaf, wassalammuallaikum wr, wb